Elektabilitas Tinggi Belum Jaminan, Petahana Bisa Tumbang

Petahana
Elektabilitas Tinggi Belum Jaminan, Petahana Bisa Tumbang

PADANG, ONTIME.ID — Putaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di Sumbar kali ini masih berkutat soal peluang petahana dan penantang pendatang baru.

Dari 19 kabupaten/kota sebanyak 14 daerah masih akan diisi oleh kepala daerah petahana (incumbent) dan  di Provinsi ada Gubernur Mahyeldi Ansharullah. Seperti Kabupaten Sijunjung ada Benny Dwifa Yuswir, Pessel ada Rusma Yul Anwar, Bukittinggi ada Erman Safar, Pasbar ada Hamsuardi.

Selanjutnya, Pasaman ada nama Sabar As, Padang Pariaman Suhatri Bur, Kota Padang Hendri Septa, Pariaman Genius Umar, Agam Andri Warman, Tanah Datar Eka Putra, Kota Sawahlunto Deri Asta, Kabupaten Lima Puluh Kota Safaruddin, Payakumbuh Erwin Yunaz, dan Solok Selatan Khairunas. Sementara sisanya lima daerah yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Solok, Kabupaten Solok, Padang Panjang, dan Dharmasraya, diisi nama-nama pendatang baru.

Konsultan politik nasional kelahiran Kabupaten Lima Puluh Kota ini menjelaskan, ketika pilkada di suatu daerah hanya diikuti oleh dua pasang calon, kapitalisasi penggiringan opini atau penggalangan  dukungan tentu akan lebih mudah. Oleh karena itu, secara psikologis menurut dia, wajar saja jika beberapa kepala daerah incumbent di level Provinsi maupun Kabupaten Kota di Sumbar saat ini, cukup gamang dan memiliki kekhawatiran kalah cukup tinggi.

“Psikologi beberapa kandidat petahana  yang  akan berlaga jelas akan sedikit terganggu. Baik itu di Pilgub Sumbar, maupun di level  Kabupaten Kota yang Pilkadanya head to head,” ujarnya.

Ia beralasan, sekalipun survei elektabilitas petahana cukup tinggi. Namun itu bukan jaminan bahwa mereka akan bisa menang dengan mudah menumbangkan kandidat penantang. Untuk meraih kemenangan, kandidat petahana harus benar-benar  berjuang mengeluarkan energi pemenangan yang lebih besar. “Petahana harus mampu menemukan konsultan yang tepat. Karena untuk menang, mereka  harus bisa  memasifkan kampanye kreatif, terutama untuk mengekspos capaian-capaian kinerja  yang masih belum banyak diketahui orang,” terangnya.

Arifki menyebut, kegagalan kandidat petahana mengekspos segala capaian positif selama masa kepemimpinannya, bahkan telah lama diidentifikasi sebagai  penyebab utama tumbangnya kandidat petahana di banyak Pilkada. Untuk itu, agar bisa menang, kandidat petahana mutlak membutuhkan konsultan komunikasi politik profesional yang mumpuni. Sebab bagaimanapun, Pilkada kenyataannya juga merupakan  arena perang wacana atau gagasan. “Apalagi dalam masa kampanye kualitas ketajaman pemberitaan media akan sangat  mempengaruhi kemungkinan keterpilihan petahana atau bahkan  kemungkinan penantang menjungkalkan kandidat petahana,” ujarnya

Lanjut Arifki Chaniago, helatan Pilkada Serentak 2024 di Sumbar, tidak boleh hanya menjadi pesta demokrasi  yang hanya dinikmati oleh segelintir elit-elit politik saja. Lebih dari itu, dampak ekonomi atau multiplier effect pilkada juga harus dirasakan langsung oleh masyarakat, pelaku UMKM maupun pelaku Ekonomi Kreatif (Ekraf) di daerah.

Jika dampak itu hanya terkonsentrasi kepada elit politik saja, maka wajar saja jika kandidat petahana khawatir akan menelan kekalahan. Sebab mereka sadar bahwa   mesin partai politik sekalipun  pun jelas tidak akan otomatis bergerak tanpa adanya dukungan logistik pemenangan yang memadai. “Karena mesin partai  belum tentu bergerak, maka jika ingin menang kandidat petahana harus menggunakan jasa konsultan politik berkompeten  untuk mengemas kampanye politik yang lebih kreatif yang menyasar masyarakat pemilih secara luas,” tambahnya.

Namun sayangnya, kata Arifki, sampai saat ini masih belum banyak kandidat petahana yang benar-benar menyadari pentingnya menggunakan konsultan politik dan media profesional untuk menjamin kemenangan. “Ini kelemahan kandidat petahana. Begitupun dengan penantang yang seharusnya mampu mengkapitalisasi berbagai isu ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja kandidat petahana selama ini.  Urusan pemenangan  ini harus diserahkan kepada orang yang benar-benar serius berkompeten di bidangnya,” tuturnya.

Rekam Jejak Jadi Acuan

Pandangan serupa disampaikan pengajar politik dari Universitas Andalas (UNAND), Andri Rusta. Ia menilai, rekam jejak atau track record kinerja petahana, memang menjadi faktor utama bagi  masyarakat pemilih menjatuhkan pilihan di kotak suara nanti.

Dalam beberapa survei, kata Andri Rusta, elektabilitas petahana memang hampir selalu tinggi dan berada di atas. Akan tetapi, tren elektabilitas itu cenderung akan mengalami penurunan dengan cepat seiring berjalannya waktu. “Alasannya, popularitas petahana sudah pasti tinggi dan dikenal banyak orang. Tapi, ketika ada penantang baru atau pembanding dari petahana, elektabilitas petahana akan turun,” ujarnya.

Andri Rusta meyakini ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja petahana dalam memenuhi kebutuhan dasar (basically need, red) publik seperti infrastruktur, pendidikan, pengendalian banjir, kemacetan dan sebagainya, akan sangat mempengaruhi kans keterpilihan kandidat petahana. “Apalagi jika kandidat penantang mampu memunculkan gagasan di sektor yang menjadi kelemahan petahana. Ini jelas ancaman bagi elektabilitas petahana,” paparnya.

Disamping itu, Andri Rusta menyebut bahwa masyarakat pemilih juga sudah pasti akan melihat rekam jejak dan kinerja petahana bagi daerah selama ini. Jika masyarakat menilai rekam jejak  petahana bersih dan  tidak bermasalah, masyarakat selanjutnya pasti akan melakukan perbandingan dengan kandidat lawan atau penantang. “Makanya kandidat penantang harus mampu melihat titik lemah ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja kandidat petahana,” ungkapnya.

Popularitas dan Aksetabilitas

Senada dengan Andri Rusta, Pengamat Politik sekaligus Dosen Ilmu Sosiologi UNP, Reno Fernandes menyebutkan, bahwa, petahana memiliki keunggulan dalam segi popularitas dan akseptabilitas yang memungkinkan petahana lebih dikenal oleh masyarakat. “Dengan jabatan yang mereka miliki saat ini, mereka lebih berpeluang besar memenangkan pilkada daripada calon lain atau penantang,” kata Reno.

Namun, Reno menyebut, elektabilitas dan akseptabilitas tersebut juga tergantung kepada kinerja yang ia lakukan selama mengisi jabatan sebelumnya. “Dari segi popularitas, petahana sudah sangat terbantu. Namun, belum tentu pada akseptabilitas dimana ada masyarakat yang suka dan tidak suka dengan hasil kerjanya,” ujar Reno.

Selain itu, kata Reno, peluang petahana bisa berkuasa kembali bisa dilihat dari cara mereka memanfaatkan sumber daya pemerintah untuk kepentingannya. “Kita ambil contoh pemanfaatan bansos, dan sekarang yang sedang marak pemanfaatan Baznas. Ini akan menjadi alat politik bagi mereka untuk bagaimana mereka bisa memenangkan kembali pilkada 2024 ini. Meskipun demikian, masyarakat akan tetap melihat kinerjanya selama memimpin,” ucapnya.

 

Petahana, kata Reno, tetap berpeluang untuk menang dan untuk kalah karena masyarakat akan menilai sendiri bagaimana program kerjanya dalam suatu daerah sehingga jika program kerja tersebut tidak bagus untuk pembangunan daerah, maka akan sangat mudah bagi masyarakat untuk mengkritik petahana tersebut.  “Ini salah satu tantangan juga bagi petahana. Bisa jadi, program mangkrak yang ia janjikan pada masyarakat akan memasukkannya ke dalam lobang itu, sehingga masyarakat bia memberikan kritik. Berbeda dengan penantang, apa yang mau dikritik,” katanya.

 

Di samping elektabilitas, akseptabilitas, dan popularitas yang dimiliki oleh petahana, menurutnya, program dan tawaran visi misi yang diberikan oleh petahana juga tak kalah penting. Namun, disamping itu, kekuatan partai politik bahkan tidak terlalu berpengaruh kepada pemenangan calon.

 

“Menurut hasil survei yang saya lakukan per Juli kemarin, partai tidak terlalu signifikan menentukan kemenangan calon. Bahkan yang paling menentukan itu adalah program dan visi misi yang ia bawa. Dukungan partai politik hanya berkisar 7 hingga 8 persen dalam menentukan kemenangan,” kata Reno.

 

Selanjutnya ia mengatakan, politisi bansos dan bantuan lainnya akan terjadi kembali pada pilkada kali ini karena memang sudah menjadi tren pada ajang pemilihan, baik pada pemilu, pilkada dan pemilihan-pemilihan lainnya. Tapi, itu tidak serta merta menentukan kemenangan. “Begitu banyak petahana menggunakan bansos sebagai alat politik, namun, akhirnya masyarakat kembali berpikir rasional dalam menentukan pilihan,” ujar Reno. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *