SUMBAR  

Harapan di Balik Penolakan Pembangunan Tol

TOL
Rapat Koordinasi terkait Rencana Pembangunan Jalan Tol Padang-Pekanbaru seksi Payakumbuh-Pangkalan, Kamis (5/1).

LIMAPULUH KOTA, ONTIME.ID – Empat tahun sudah masyarakat di sejumlah nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota berjuang agar rencana pembangunan Jalan Tol Padang- Pekanbaru untuk sesi Payakumbuh-Pangkalan dialihkan, sebab akan melintasi kawasan pemukiman, balai adat hingga rumah gadang kaum. Gubernur Sumatra Barat pun menegaskan agar pembangunan jalan tol tidak merugikan masyarakat.

Dalam rapat koordinasi pembangunan Jalan Tol Padang-Pekanbaru yang dipimpin oleh Gubernur Sumbar pekan lalu terungkap ada lima nagari di Kabupaten Limapuluh Kota yang menolak pembangunan jalan bebas hambatan di daerah tersebut. Lima nagari itu adalah Nagari Koto Tangah Simalanggang, Koto Baru Simalanggang, Taeh Baruah, Lubuak Batingkok, dan Nagari Gurun.

Wali Nagari Lubuak Batingkok, Yon Elvi membenarkan adanya aspirasi masyarakat yang menolak pembangunan jalan tol di daerah tersebut. Karena, sebagian wilayah Nagari Batingkok masuk dalam trace 1 untuk seksi Payakumbuh-Pangkalan,

“Ruas Payakumbuh-Pangkalan ini ada tarase 1, 2, 3, dan 4. Nah untuk trase satu memang warga kita menolak karena itu melewati rumah warga, bahkan juga akan melewati rumah adat, mushala, dan balai adat. Tapi yang memang yang terpenting itu adalah rumah tempat tinggal masyarakat ini akan terdampak pembangunan jalan tol,” katanya kepada ONTIME.ID, Minggu (8/1).

Ia menjelaskan, bahwa penolakan masyarakat tersebut sudah disuarakan sejak 2018, baik kepada pemerintah kabupaten, provinsi hingga pemerintah pusat. Namun hingga saat ini belum belum ada tindak lanjut dari pemerintah atas permohonan masyarakat tersebut.

“Ini sudah berlangsung selama empat tahun, sejak 2018 silam. Penolakan ini juga murni aspirasi masyarakat, jadi bukan politik-politik, tidak ada yang menunggangi,” ujarnya.

Yon Elvi mengatakan, Mantan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno yang menjabat pada saat pernah memanggil masyarakat dan wali nagari untuk menyampaikan penolakan yang disuarakan masyarakat tersebut.

Ia menjelaskan, masyarakat pada dasarnya meminta agar pembangunan jalan tol tersebut dialihkan ke lokasi lain, agar rumah dan bangunan adat tidak terdampak dari pembangunan tersebut. “Mohon dipindahkan ke tarase yang lain, karena itu berada di pemukiman masyarakat padat, tanah ulayat juga. Itu yang jadi harapan warga kami,” ujar Yon Elvi.

Penolakan terhadap pembangunan jalan Tol Padang-Pekanbaru untuk Ruas Payakumbuh-Pangkalan juga terjadi di Nagari Gurun, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota. “Warga memang sudah lama tidak setuju dengan berbagai alasan, diantaranya terkait lahan pertanian, hanya itu lahan yang ada,” kata Wali Nagari, Gurun M Ger, Minggu (8/1).

Pihak pemerintahan nagari pun saat ini tidak dapat melakukan apa-apa karena memang tidak ada arahan dari Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Provinsi. “Jadi kami di nagari hanya menunggu. Kalau jumlah warga yang menolak itu jumlahnya lebih 100 orang,” ujarnya.

Sementara itu, salah seorang warga Nagari Lubuak Batingkok, Ezi Fitriana (41)  mengatakan, pada dasarnya,  masyarakat tidak menentang rencana pembangunan jalan tol yang memang telah menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).

Namun menurut Ezi,  masyarakat hanya meminta agar trase tersebut  dialihkan ke tempat lain yang tidak mengganggu dan tidak berdampak terhadap kehidupan sosial dan masyarakat yang telah ada.

“Kami masyarakat di lima nagari ini bukan menolak jalan tol. Tapi minta trase yang melintasi kampung kami dialihkan ke tempat lain. Kan ada alternatif satu dan dua, lalu kenapa trase yang akan membelah kampung kami ini dipaksakan?, Sejak awal poinnya itu,” ujarnya.

Ezi menjelaskan, alasan penolakan masyarakat karena pembangunan trase jalan tol yang akan melintasi pemukiman tersebut dikhawatirkan akan mematikan kehidupan sosial dan ekonomi yang telah ada.

Apalagi menurutnya, di lima nagari tersebut  terdapat rumah gadang, sawah, ladang, lahan pertanian, pandam pakuburan, harta pusaka dan hak Ulayat milik ribuan masyarakat yang terdiri dari 26 kaum dan pasukuan yang mendiami wilayah itu.

“Di Minang, ada Soko dan Pusoko. Kalau Pusoko hilang, Soko tak ada gunanya lagi. Niniak mamak itu ada dan bisa diakui karena ada pusoko yang harus mereka jaga. Jika Ulayat ini hilang, maka artinya tuah niniak mamak ini juga hilang. Ini yang jadi pertimbangan dan alasan penolakan masyarakat,” ujarnya.

Namun sayangnya, kata Ezi, pemerintah tidak melihat sebegitu pentingnya arti  kehilangan Soko dan Pusako serta tanah Ulayat bagi tatanan kehidupan masyarakat adat ini sebagai suatu alasan penolakan. Sehingga pada akhirnya persoalan pembebasan lahan ini tidak kunjung usai

“Persoalannya pemerintah tidak mendengarkan dan malah memelintir bahwa  alasan penolakan ini lebih kepada nominal ganti rugi semata. Padahal tidak. Sebab ada hak-hak Ulayat dan nilai immaterial lainnya yang dipertahankan oleh masyarakat di lima nagari ini,” tuturnya.

Ezi menuturkan, sejumlah alasan dan pertimbangan penolakan lainnya, juga telah pernah disampaikan oleh masyarakat di lima nagari  secara resmi kepada pemerintah Kabupaten dan Provinsi sejak munculnya wacana pembangunan jalan tol ini pada tahun 2018 silam.

Saat itu, menurutnya, penolakan telah disampaikan  secara resmi kepada Bupati Lima Puluh Kota sebelum periode kepemimpinan sekarang,  DPRD Kabupaten, DPRD Sumbar hingga kepada Gubernur Sumbar saat itu Irwan Prayitno.

“Kemudian kita juga sudah berkirim surat ke Kementerian PUPR Pusat, DPR RI, Komnas HAM, Ombudsman, tapi tidak ada respon. Dan baru direspon  saat sudah heboh seperti sekarang ini,” ucapnya.

Ezi juga menyatakan,  kendati baru-baru ini anggota DPRD Sumbar sudah melakukan dua kali hearing dan  turun ke lapangan, namun sejauh ini belum ada satupun upaya  dari pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota maupun Provinsi untuk merespon permintaan masyarakat untuk mengalihkan rencana pembangunan trase satu jalan tol Padang-Pekanbaru ini.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPRD Sumbar, Evi Yandri menyatakan, pihaknya sudah menerima aspirasi dari nagari yang menyatakan menolak pembangunan ini. Menurutnya, masyarakat di nagari tersebut meminta agar pembangunan itu dialihkan.

“Sebetulnya mereka tidak menolak, namun hanya memohon agar adanya peralihan trace. Hal tersebut disebabkan karena adanya situs-situs sejarah kuburan dan rumah gadang, yang nantinya disinyalir akan merusak tatanan adat dan budaya. Inilah argumentasi yang disampaikan mereka kepada kami pihak DPRD,” terangnya.

DPRD Sumbar, kata Evi juga telah menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut dengan meninjau ke lapangan untuk memastikan situs sejarah yang dimaksud. Artinya, kata Elvi, sejak awal aspirasi masyarakat tersebut tidak direspon oleh pemerintah hingga akhirnya muncul penolakan agar dialihkan ke daerah lain.

“Dalam menyelesaikan proyek strategis nasional ini kita harus alam takambang jadi guru, belajar dari hal yang pernah terjadi. harus dikomunikasikan, disosialisasikan sehingga tidak adanya penolakan dari lapangan. Harapan kita usai ini itu bagi yang terdampak, sampai saat ini kita tidak punya data berapa persen masyarakat yang terdampak itu,” tuturnya.

Dalam rapat koordinasi pembangunan jalan tol, Gubernur Sumbar Mahyeldi menyebutkan terdapat dua Nagari yang menolak pembangunan ruas jalan tol di daerah Limapuluh Kota. Hal ini perlu diatasi dengan komprehensif, sebab menurutnya, tidak semua masyarakat di nagari tersebut menolak pembangunan jalan tol.

“Intinya kita harus tetap selesaikan permasalahan baik itu penolakan dari masyarakat atau yang lain. Dalam pembangunan ini tidak ada masyarakat yang boleh dirugikan, maka harus kita tuntaskan dengan baik,” kata Mahyeldi, di Auditorium Gubernur Sumbar, Kamis, (5/1).

Pemprov Sumbar, sambung Mahyeldi, akan memperkuat koordinasi dengan Forkopimda, Tim Percepatan Pembangunan Jalan Tol termasuk di tataran Kabupaten Limapuluh Kota. Ia menekankan agar selalu konsolidasi dalam menyikapi dan mengatasi masalah yang muncul.

Mahyeldi mengatakan, bahwa Kementerian PUPR menegaskan pembangunan Jalan Tol Padang-Pekanbaru akan dilanjutkan saat semua permasalahan terkait pembebasan lahan sudah selesai. Oleh sebab itu, perlu percepatan pembebasan lahan ini. (*/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *