Opini  

Orang Rantai : Asal Usul Penduduk Kota Sawahlunto

Sawahlunto
Mifthahur Rahmi, Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Andalas

Oleh : Mifthahur Rahmi, (Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Andalas)

Kota Sawahlunto merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi Sumatera Barat. Kota Sawahlunto memiliki luas sekitar 273,45  yang terdiri dari empat kecamatan dengan jumlah penduduk kurang lebih 66.962 jiwa (2021).

Asal usul berdirinya Kota Sawahlunto ini berawal dari penelitian seorang geolog asal Belanda pada tahun 1858 yang dalam penemuaannya, ia mengatakan bahwa di Kota Sawahlunto tersebut  terdapat 200 juta ton batu bara yang terkandung di sekitaran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Kota Sawahlunto.

Sejak adanya penelitian ini kolonial Hindia Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang eksploitasi batu bara dari  Kota Sawahlunto. Dibangunnya jalur transportasi kereta api dari Ombilin di Sawahlunto menuju ke Pelabuhan Emma Haven atau Pelabuhan Teluk Bayur.

Sehingga pada tahun 1888 Sawahlunto dijadikan sebagai sebuah kota, tepatnya pada tanggal 1 Desember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto. Dan inilah yang merupakan awal dari perubahan Kota Sawahlunto yang dahulunya hanya sebuah  “ladang padi” atau sebuah sawah di kaki bukit menjadi sebuah Kota Tambang.

Sejak tahun 1982, Kota Sawahlunto sudah mulai memproduksi batu bara. Untuk menjalankan usaha tambang ini, pemerintah Hindia Belanda mulai mengirim narapidana dari pulau Jawa  sekitar 20.000 orang narapidana yang dipaksa  untuk bekerja dengan biaya murah.

Mereka dipekerjakan sebagai kuli tambang batu bara dengan keadaan kaki, tangan, dan leher yang terikat oleh  rantai. Mereka inilah yang dijuluki sebagai “ketingganger” atau “orang rantai” dalam bahasa Belanda. Sejak beroperasinya tambang Batubara ini  dan adanya migrasi orang orang dari berbagai daerah ke Kota Sawahlunto sebagai pekerja tambang, mereka inilah yang akan menjadi cikal bakal  dari masyarakat  Kota Sawahlunto.

Para pendatang tersebut berasal dari berbagai daerah di Hindia Belanda dan dari berbagai bangsa Eropa yang turut bermukim di area sekitar tambang. Dan sampai sekarang ini Kawasan Kota Lama di Sawahlunto, yaitu daerah Tangsi, Tanah Lapang, dan Tangsi Baru yang berlokasi di Kelurahan Air Dingin, Kecamatan Lembah Segar, sampai saat ini generasi keturunan orang rantai itu masih bermukim di daerah kawasan tersebut.

Dan oleh karena itu juga di Kota Sawahlunto terdapat sebuah bahasa yang dinamakan dengan bahasa Tangsi. Bahasa Tangsi itu sendiri merupakan bahasa yang tumbuh atau berasal dari buruh tambang batubara di masa kolonial Belanda. Para buruh ini menciptakan model bahasa kreol sejak kawasan ini menjadi Kota Tambang Modern.

Ini merupakan bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dari latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman. Percampuran bahasa Tangsi lahir tidak kurang dari 10 bahasa, yaitu: Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Batak, China, Minangkabau, Belanda dan Melayu sebagai bahasa dasar. Dan UNESCO telah menetapkan bahasa Tangsi sebagai Warisan Budaya Non Benda pada tahun 2019 yang lalu. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *