Penolakan KUHP Baru Terus Bergulir

KUHP
demo penolakan KUHP yang hari ini disahkan DPR dalam Sidang Paripurna

JAKARTA, ONTIME.ID — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang berlangsung di Gedung DPR RI, Selasa (06/22). KHUP ini akan berlaku tiga tahun setelah disahkan kemarin.

 

Sidang paripurna pengesahan RUKHP tersebut diwarnai dengan pembahasan yang cukup alot oleh sejumlah fraksi. Seperti Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis yang mengkritisi sejumlah pasal dalam RKHUP tersebut.

 

“Pasal 240 yang menyebutkan, yang menghina pemerintah dan lembaga negara dihukum tiga tahun. Ini pasal karet yang akan menjadikan negara Indonesia dari negara demokrasi menjadi negara monarki. Saya meminta supaya pasal ini dicabut. Ini juga kemunduran dari cita-cita reformasi,” kata Iskan.

 

Menurut Iskan, pasal 240 dan pasal 218 akan dipakai oleh penguasa nantinya dalam mengambil hak-hak masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. Ia pun akan mengajukan beberapa pasal ke Mahkamah Konstitusi. “Saya akan mengajukan pasal ini ke MK, saya sebagai wakil rakyat,” ujar Iskan.

 

Penolakan Publik

 

Pengacara publik dari LBH Jakarta Charlie Meidino Albajili menyatakan pemerintah dan DPR tak mempunyai iktikad baik dan menipu rakyat dengan mengesahkan RKUHP menjadi UU di tengah gelombang penolakan.

 

Menurut Charlie, RKUHP yang kini telah disahkan menjadi UU cacat prosedur karena partisipasi masyarakat tidak diakomodasi dengan baik dan penuh. Akibatnya, substansi yang termuat dalam peraturan pidana baru itu sangat berbahaya bagi demokrasi dan masa depan bangsa.

 

“Pemerintah lagi-lagi meng-goal-kan UU secara cacat prosedural karena aspirasi masyarakat beberapa prosedurnya tidak melaksanakan partisipasi masyarakat yang tulus sebagaimana dimandatkan putusan MK di Cipta Kerja,” imbuhnya.

 

Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, menilai pengesahan RKUHP menjadi UU merupakan kemunduran bagi perlindungan kebebasan sipil di Indonesia. Menurutnya, sejumlah pasal yang terkandung dalam peraturan tersebut masih berwatak anti hak asasi manusia dan demokrasi.

 

“Pengesahan RKUHP jelas merupakan kemunduran dari perlindungan kebebasan sipil di Indonesia, terutama pada hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta kebebasan pers,” ujar Usman.

 

Sejumlah pasal yang dimaksud yaitu penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden; penghinaan terhadap pemerintah yang sah; penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara; berita bohong; pencemaran nama baik; dan penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu.

 

Ancam Kebebasan Pers

 

Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim mengatakan masih terdapat sejumlah pasal yang bermasalah dan berpotensi mengekang kebebasan pers. Menurut Sasmito terdapat 17 pasal yang harus dihapus dari KUHP karena berpotensi kriminalisasi terhadap jurnalis.

 

“Sejauh ini pemerintah dan DPR tidak pernah memberikan ruang partisipatif kepada komunitas publik termasuk pers yang bermakna untuk mendiskusikan pasal-pasal yang bermasalah,” ujar Sasmito

 

Diantaranya yaitu Pasal 263 Ayat 1 yang memuat bagi seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahui bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp500 juta.

 

Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 atau denda Rp200 juta.

 

RKUHP terbaru juga memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Hal itu tertuang dalam pasal 264.

 

Sebelumnya, DPR mengesahkan RKUHP menjadi UU dalam Rapat Paripurna hari ini. Sejumlah pihak menilai RKUHP yang kini telah menjadi UU tersebut masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah. Di antaranya pasal penghinaan terhadap presiden, pasal makar, penghinaan lembaga negara, pidana zina dan kumpul kebo, hingga berita bohong.

 

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, mempersilakan masyarakat untuk menggugat produk hukum ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika merasa sejumlah pasal di RKUHP bertentangan dengan konstitusional.

 

“Jadi kita kan harus melalui mekanisme konstitusi. Jadi kan kita semakin beradab, semakin baik kepatuhan terhadap konstitusi, terhadap hukum. Maka ketika disahkan mekanisme yang paling pas adalah Judicial Review,” ujar Yasonna.

 

Ia menyatakan, KUHP ini akan berlaku tiga tahun setelah disahkan. Sehingga pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan terhadap para penegak hukum dan stakeholders.

 

“Jaksa, hakim, polisi, advokat, pegiat HAM, kampus-kampus lagi agar tidak salah mengajar nanti. Harus ada dan kami harus menyusun dari sekarang sosialisasi terhadap stakeholders yang ada,” kata Yasonna.

Sementara Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, meminta para pihak yang menganggap produk hukum ini bermasalah dan terburu-buru untuk datang berdebat dengan pihaknya.  (*/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *