SUMBAR  

Ranah Minang Mencari Kepala Daerah Peduli Bencana

Bencana
Suasana prosesi tabur bunga di Monumen Gempa Padang, Senin (30/9). Kegiatan tersebut untuk mengenang peristiwa gempa yang mengguncang Kota Padang pada 30 September 2009 lalu.

PADANG, ONtime.ID—Gempa 30 September 2009 menjadi momen bersejarah yang akan selalu dikenang oleh masyarakat Sumatera Barat (Sumbar), khususnya Kota Padang. Kini, 15 tahun berlalu, peristiwa yang meluluh-lantakkan Kota Padang itu sudah semesti menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Sumbar. Lebih-lebih bagi kepala daerah yang akan memimpin Sumbar lima tahun ke depan.

Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rustian menyebut Sumbar sebagai salah satu etalase bencana di Indonesia. Berbagai bencana seperti gempa bumi, banjir, galodo, tsunami, dan bencana lainnya sangat berpotensi terjadi di Sumbar ini.

“Oleh karenanya, marilah kita jadikan momentum ini untuk selanjutnya lebih siap siaga. Kita harus perlu berlatih dan terus berlatih untuk kesiapsiagaan bencana ini, karena kita tidak tahu kapan bencana akan terjadi,” katanya saat Peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) Kota Padang di Monumen Tugu Gempa, Padang, Senin (30/9).

Ia menekankan bahwa semua pihak harus menyadari dan memahami siklus dalam kebencanaan. Bahwa, terdapat masa prabencana, saat bencana, dan pascabencana yang membutuhkan sikap-sikap tertentu pada setiap tahapannya.

“Untuk diketahui, setiap dari kita punya hak yang sama dan berkewajiban terlibat dalam setiap tahapan kebencanaan. Mulai dari pra, saat, dan pascabencana. Tidak ada yang tidak berperan dalam suasana kebencanaan. Inilah pentingnya pentahelix kebencanaan, dan ini harus dipahami dengan baik,” ujar Rustian.

Rustian juga menegaskan, upaya mitigasi kebencanaan harus dilakukan secara terus-menerus demi meningkatkan kesiapsiagaan. Keberadaan Monumen Gempa Padang untuk mengingat bencana skala besar, juga sangat penting untuk terus mengingatkan pentingnya memupuk kesiapsiagaan.

“Soal kebencanaan, Sumbar juga merupakan miniatur bagi nasional. Mengingat, hampir semua jenis bencana berpotensi terjadi di Sumbar. Oleh karenanya, kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan di Sumbar harus terus ditingkatkan dari waktu ke waktu,” ujarnya.

Rustian menyebutkan, BNPB bersama Pemprov Sumbar telah merencanakan shelter multifungsi, seperti Pasar Raya Padang, Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Rumah Sakit Siloam, dan beberapa pembangunan lainnya untuk mengantisipasi bencana gempa Megathrust Mentawai yang bisa kapan saja terjadi.

“Kita telah merencanakan itu. Setiap 1 kilometer harus ada shelter. Seperti Pasar Raya ada shelter untuk masyarakat Pondok dan sekitarnya. Lalu Masjid Raya Sumbar untuk masyarakat Purus dan sekitarnya, dan RS Siloam untuk masyarakat Ulak Karang dan Air Tawar. Sehingga shelter bencana di Sumbar bisa terus berfungsi dan terawat. Kalau shelter tok saja yang dibangun, akan terlihat seperti rumah hantu, dan menjadi lokasi aktivitas menyimpang,” katanya.

Selain itu, ia juga mengingatkan soal syarat dalam membangun rumah atau bangunan lainnya. Di mana secara analisis, bukanh gempa yang membuat korban banyak berjatuhan, tapi konstruksi bangunan yang tidak kokoh yang membuat banyaknya jatuh korban jiwa. Dengan itu, Rustian meminta pemerintah dan pihak terkait agar selanjutnya dapat memberikan standar bagi sebuah pembangunan infastruktur demi meminimalisasi risiko gempa.

Pada kesempatan yang sama, Plt Gubernur Sumbar, Audy Joinaldy menyebutkan, sering kali masyarakat lupa pentingnya kesiapsiagaan ketika suasana sedang tenang dan baik-baik saja. Padahal, kesiapsiagaan terhadap bencana harus menjadi sikap tetap dalam keseharian.

“Beberapa waktu yang lalu, kami bersama Bapak Kepala BNPB juga berkunjung ke Mentawai terkait kesiapsiagaan terhadap Megathrust Mentawai. Potensi kebencanaan itu besar, tapi kita tahu kapan waktunya. Oleh karena itu, kesiapsiagaan harus terus dipupuk dan diterapkan dalam keseharian,” ujar Audy.

Terkait pola bangunan yang disinggung BNPB, ia mengakui memang diperlukan perda, pergub, dan perwako terkait syarat perumahan, karena rata-rata pola bangunan di Sumbar memang terbilang rawan. Bahkan dalam kesiapan lainnya, Pemprov Sumbar juga pernah mengusulkan adanya program studi ilmu kebencanaan. “Pernah kami diskusikan di Unand untuk adanya fakultas ilmu kebencanaan. Apalagi di Sumbar inilah ibarat laboratorium terbesar bencana alam,” ujarnya.

Pj Wali Kota Padang Andree H Algamar mengatakan, gempa bumi 2009 telah meluluhlantakkan hampir seluruh sendi kehidupan di Kota Padang dan sebagian wilayah Sumbar lainnya. Sehingga, sejak kejadian itu setiap tahunnya Pemko Padang memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana, sebagai pengingat dalam meningkatkan kesiapsiagaan.

“Lewat peringatan kejadian bencana 30 September 2009 lalu, kita dapat mengambil hikmah, menginstropeksi diri, dan terus memupuk kesiapsiagaan. Oleh karena itu, kejadian itu kita peringati setiap tahun,” ucap Andree.

 

Pemimpin Peduli Bencana

Perihal kebencanaan, tidak seperti ekonomi dan pariwisata, bahkan pertanian, belum benar-benar menjadi perhatian pemerintah daerah (pemda). Padahal, menurut Wakil Presiden RI, K.H. Ma’ruf Amin, penurunan risiko bencana sudah sepatutnya menjadi salah satu indikator atau tolak ukur kinerja kepala daerah. Terlebih di daerah-daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi, seperti Sumbar.

Wapres menyebutkan, Indonesia memiliki kondisi geografis dan geologi yang rawan bencana. Lantaran kondisi ini, penyusunan rencana tanggap darurat pun menjadi penting untuk dimiliki agar dampak yang terjadi tidak mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, seluruh daerah harus memiliki langkah mitigasi bencana untuk melindungi kelangsungan hidup masyarakat.

“Penurunan risiko bencana sepatutnya menjadi salah satu indikator kinerja kepala daerah. Sebab, mitigasi dampak bencana di daerah tentu akan turut memastikan kecukupan pangan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan hidup, yang akan bermuara pada peningkatan perekonomian lokal dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya, beberapa waktu yang lalu.

Hal senada juga disampaikan Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Hidup Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Sumbar), Tommy Adam. Ia meminta peserta pilkada untuk menaruh perhatian serius pada agenda pemulihan sejumlah persoalan utama di Sumbar. Salah satunya krisis lingkungan dan perampasan sumber daya alam.

Ia mengajak peserta pilkada untuk memperhatikan rendahnya kualitas layanan kesehatan dan memburuknya kesehatan masyarakat akibat rusak dan tercemarnya lingkungan. Lalu, pengaturan tata ruang dan pembangunan infrastruktur yang tidak mempertimbangkan keadilan antar generasi dan keadilan ekologis, sehingga berdampak pada penyingkiran dan pemiskinan masyarakat adat serta komunitas komunitas rakyat.

“Belum adanya roadmap kebijakan daerah untuk pengakuan, perlindungan, dan pemulihan hak-hak masyarakat adat, terutama tanah ulayat, termasuk tingginya angka bencana ekologis yang dipicu oleh investasi rakus ruang dan kebijakan pembangunan serta investasi yang tidak berbasis pada kajian risiko bencana dan masih rendahnya kualitas pelayanan publik, terutama pada layanan sosial dan kesehatan,” ujarnya.

 

Ancaman Megathrust Mentawai

Kesiapsiagaan bencana menjadi indikator penting juga karena mengingat masih adanya potensi gempa dan tsunami akibat Megathrust Mentawai. Pakar Gempa, Prof. Badrul Mustafa Kemal mengatakan, energi besar Sesar Mentawai masih tersimpan. Ini yang harus terus diwaspadai dengan terus melakukan mitigasi dan bersiap menghadapi kemungkinan terulangnya gempa sangat dahsyat pada tahun 1797 di segmen Siberut.

“Semoga saja hal itu tidak terjadi. Tapi kita berharap pula semoga kita  semua benar-benar menjadi masyarakat yang tangguh menghadapi potensi bencana alam ini,” ucap Guru Besar Universitas Andalas (Unand) kepada ONtime.ID, baru-baru ini.

Masyarakat, ucapnya, tetap harus mewaspadai gempa kuat dan sangat kuat bila terjadi di sekitar Pulau Siberut, terutama dari pantai barat Kepulauan Mentawai sampai batas lempeng Indo-Australia dan Eurasia, atau kira-kira 150 km dari bibir pantai Siberut ke arah laut lepas (Samudera Hindia).

“Kalau soal kerawanan, tentu saja Sumbar masih rawan terhadap gempa, baik yang bersumber di laut (subduksi yang menghasilkan megathrust) maupun di darat dari aktivitas Sesar Semangko,” tuturnya.

Akan tetapi, Badrul menekankan, masyarakat tidak usah takut menghadapi potensi gempa. Namun yang diperlukan adalah waspada. “Bukan takut. Untuk membangun kewaspadaan, maka kita harus terus siaga menghadapinya dengan terus melakukan mitigasi fisik atau struktur maupun nonfisik,” ujarnya.

Mitigasi fisik adalah dengan memastikan bangunan tempat tinggal dan tempat kerja/usaha sesuai standar bangunan aman atau ramah gempa. Untuk hal ini, harus berkonsultasi dengan ahlinya.

Hal senada juga disampaikan Pakar Geoteknik Unand, Prof. Abdul Hakam. Ia juga mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada. “Sikap kita menghadapi Megathrust Mentawai adalah mempersiapkan segala sesuatunya agar tidak terjadi korban atau paling tidak jumlahnya harus sangat sedikit. Tingkatkan kesiapsiagaan terhadap bahaya gempa,” katanya.

Berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017, Megathrust Mentawai terakhir kali mengakibatkan gempa lebih dari dua abad silam. Megathrust Mentawai, dengan panjang 200 km dan lebar 200 km serta slip rate 4 cm per tahun, pernah menyebabkan gempa pada 1797 dengan magnitudo 8,7 dan pada 1833 dengan magnitudo 8,9. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *